Genre ini terletak pada ranah fakta?
Ranah fiksi? Atau fiksi yang berdasarkan fakta? Salah satu
kesalahpahaman yang sering terjadi terhadap “jurnalisme sastrawi”. Hal
itu karena genre ini acap disebut sebagai pembaruan besar untuk ranah
jurnalistik supaya tidak terkesan kaku dalam pelaporannya. Berita
pada umumnya ditulis hanya dengan unsur 5W + 1 H. Namun, terkadang
tidak melengkapi unsur 5W + 1H. 5W + 1H adalah singkatan dari who
(siapa), what (apa), where (dimana), when (kapan), why (mengapa), dan
how (bagaimana). Pada genre “jurnalisme sastrawi” terdapat pengembangan
dari pedoman standar 5W + 1H menjadi pendekatan baru yang naratif. Bagaimanapun jurnalisme mengedepankan fakta karena seyogyanya
“Jurnalisme sastrawi” adalah satu dari setidaknya tiga nama buat genre
tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat di mana
reportase dikerjakan dengan mendalam, penulisan dilakukan dengan gaya
sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe,
wartawan-cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama
“new jornalism” (jurnalisme baru).
Kritisi menanggapi. “Apanya yang baru?”
Pada tahun 1973 Wolfe dan EW Johnson menerbitkan antologi dengan judul
The New Journalism. Mereka menjadi editor. Mereka memasukkan
narasi-narasi terkemuka zaman itu. Wolfe dan Johnson menulis kata
pengantar. Mereka bilang genre ini berbeda dari reportase sehari-hari
karena dalam bertutur ia menggunakan adegan demi adegan, reportase yang
menyeluruh, menggunakan sudut pandang orang ketiga, serta penuh dengan
detail. Ini merupakan hal yang baru dalam dunia jurnalistik.
Bagaimana genre ini di Negara Indonesia?
Genre ini sedang berkembang di Negara Indonesia. Salah satunya media
yang dikenal dengan gaya penulisan “jurnalisme sastrawi” adalah Majalah
Tempo. Majalah ini telah menerapkan sastrawi dengan ciri khas penulisan
cerita di balik berita, penulisannya dengan gaya sastra yang enak
dibaca, berbeda dengan koran maupun media online yang jarang menerapkan
“jurnalisme sastrawi”.
0 komentar:
Posting Komentar